Selasa, 05 Mei 2015

SEJARAH SUNAN BONANG



SEJARAH SUNAN BONANG


v Kisah Asal Usul Sunan Bonang
Sunan Bonang waktu mudanya bernama Raden Maulana Makdum Ibrahim,lahir 1465 Masehi dan wafat 1525 Masehi. Beliau adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila Putri Aryo Tejo Tumenggeng Majapahit yang berkuasa di Tuban. Menurut cerita Sunan Bonang bersama Raden Paku (Sunan Giri) suatu hari bermaksud pergi ke Mekkah menuaikan ibadah Haji, namun dalam perjalananya mereka hanya sampai di Samudra Pasai. Di Pasai mereka berjumpa dengan ayahanda Raden Paku yang bernama Maulana Iskak (Syeh Wali Lanang). Keduanya diajarkan ilmu agama Islam dan berbagai ilmu lainnya oleh Maulana Iskak. Setelah selesai belajar pada Maulan Iskak kemudian Raden Paku (Sunan Giri) di beri gelar Raden Satmapta dan Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) di beri Gelar Raden Tjakrakusuma. Atas nasehat Syeh Maulana iskak keduannya menyebarkan Agama Islam. Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Giri Gresik yang akhirnya terkenal dengan sebutan atau Gelar Sunan Giri.
Raden Maulana Makdum Ibrhim menyebarkan agama Islam di daerah Bonang Tuban dan Lasem yang kemudian di kenal oleh masyarakat dengan sebutan atau Gelar Sunan Bonang. Secara kebetulan pada saat Sunan Bonang mulai aktif Berdakwa menyebarkan ajaran Agama Islam pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit mulai runtuh dan hal ini yang di manfaatkan oleh Sunan Bonang untuk mempercepat penyebaran agama Islam dan mendirikan pesantren-pesantren dan masjid-masjid. Selain itu Sunan Bonang juga berusaha memasukan agama-agama Islam kepada Raden Patah, seorang putra Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit.

v Pandai Berdakwa
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alatmusik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah cara Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang  diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
Metode dakwah bahwa diantaranya dengan dan menciptakan nama-nama baku yang diambil dan nama-nama Malaikat dan Nabi. Selain itu beliau juga mendalami ajaran filsafat yang di perkaitan dengan masalah iman,tauhid dan makrifat. Sunan Bonang di kenal sebagai penulis “Suluk Bonang” dan juga ahli sastra Jawa. Untuk menopang persebaran Islam, beliau juga membantu pembangunan Masjid Agung di kota Bintoro Demak. Cita-citanya ingin menjadikan Demak sebagai pusat kegiatan negara Islam tetapi adanya perubahan politik di kemudian hari menyebabkan cita-citanya tidak terwujud Raden Maulana Makdum Ibrahim lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bonang, karena beliau berdakwa dengan menggunakan kesenian rakyat yang dinamakan Bonang (semacam gong kecik). Beliau membunyikan Bonang dalam Masjid yang di sertai lagu bernafaskan ajaran Islam.
Dari suluk-suluknya itu yang sangat penting antara lain ialah Suluk Genturatau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.  Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempurna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat da`im qa`im .Syahadat ini berupa kesaksian  tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas  tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penghlihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-quran 28:88 : “Segala hal binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap). Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1.     Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2.     Mutawassitah (Mutawassita)
3.     Mutakhirah (muta`akhira)
 Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tidakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.
Dikatakan juga dalam suluknya itu bahwa dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah  tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama. Perumpamman ini dapat dirujuk kepada perumpamaan seupa di dalamFutuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lama`at karya `Iraqi.Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali,  untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengan pepatah sufi “Qalb al-mucmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).


v Karya Sunan Bonang
Cerita sunan bonang, Di antara tembang Raden Maulana Makdum Ibrahim yang terkenal, yaitu “Tamba ati iku lima ing wernane. Kaping pisan maca Quran angen-angen sak maknane. Kaping pindho shalat wengi lakonono. Kaping telu wong kang saleh kancanana. Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe. Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe. Sopo wonge bisa ngelakoni. Insya Allah gusti Allah nyembadani”
Adapun arti tembang tersebut adalah obat sakit jiwa (hati) itu ada lima jenisnya. Pertama, membaca al’quran direnungkan artinya. kedua, mengerjakan shalat malam (Sunnah Tahajjud). Ketiga, sering bersahabat dengan orang shalih (berilmu). Keempat, harus sering berprihatin (berpuasa). Kelima, sering berzikir mengingat Allah di waktu malam. Siapa saja mampu mengerjakannya. InsyaAllah dia akan mengambulkan.
Sekarang, lagu ini sering dilantunkan para santri ketika hendak shalat jamaah baik di pedesaan maupun di pesantren. Sebenarnya, para murid Raden Makdum Ibhramim sangat banyak, baik itu mereka yang berada di Tuban, pulau bawean, jepara, maupun madura. Sebab, ia sering mempergunakan bonang dalam berdakwah, maka masyarakat memberinya gelar sunan bonang.  Tembang ciptaan Sunan Bonang semakin populer lagi sejak dinyanyikan oleh salah satu penyanyi religi dari Indonesia, yaitu Opick, jadi tidak hanya para santri saja yang tahu lagu itu, tapi juga masyarakat luas.
Pada masa hidupnya, Sunan bonang termasuk pendukung kerajaan islam demak dan ikut membantu mendirikan masjid agung demak di jawa tengah. Saat itu, ia lebih dikenal sebagai pemimpin bala tentara demak oleh masyarakat setempat. Ia juga memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung, ayah Sunan Kudus, sebagai panglima tentang Islam Demak. Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Bahkan, ia pun memberikan nasihat yang berharga pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi majapahit.

Sunan Bonang sangat memperhatikan ajaran Islam, sehingga ia sering menunjukkan tata cara hidup yang baik agar orang islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaan kepada Allah SWT. Para penganut Islam haruskan menjalankan, seperti shalat, berpuasa, dan membayar zakat.  Selain itu, mereka juga harus menjauhi tiga musuk utama, yaitu dunia, hawa nafsu, dan setan. Untuk menghindari ketiga musuh itu, mereka dianjurkan untuk lebih banyak berdiam diri, bersikap renda hatih, dan tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah SWT. Sebaliknya, mereka harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan.
v Bangunan Makam



Kompleks Makam Sunan Bonang dikelilingi tembok keliling dan terbagi menjadi tiga halaman yang disusun berurut ke belakang dari arah selatan ke utara, masing-masing halaman dibatasi pagar tembok penghubung antara halaman satu dengan yang lainberupa gerbang berbentuk Gapura Paduraksa. Di halaman dalam banyak makam dari kerabat Sunan Bonang dan makam Sunan Bonang di lindungi cungkup dengan atap Sirap dari kayu jati yang di berukir. Makam Sunan Bonang masih di tutupi lagi dengan kelambu, sehingga terkesan sangat keramat, di kompleks tersebutjuga ada sebuah masjid yang di kenal dengan Masjid Astana Sunan Bonang.
    ( Masjid Astana Sunan Bonang)

v Lokasi Dan Keadaan lingkungan
1.    Pada halaman pertama terdapat dua bangunan pendopo dan terletak bersebelahan.  Bangunan pendopo itu bentuknya limasan dengan konstruksi bangunan kayu, namun tidak berdinding. Unsur bangunan yang harus di perhatikan di sini adalah umpak-umpaknya, yang berwarna putih dan terbuat dari tulang ikan. Fungsi bangunan seperti itu selain untuk istirahat ,pada waktu-waktu dipergunakan sebagai tempat keselamatan. Di tempat lain seperti di makam raja-raja Kota Gede Jogjakarta, bangunan seperti itu di sebut bangunan peseban, dan di pakai para berziarah mempersiapkan diri sebelum masuk ke makam utama. Sungguh tepat sekali jika di halaman pertama ini tersedia bangunan seprti itu, karena di sini kita bisa melepaskan lelah sejenak sambil menyeka keringat sebelum menuju makam utama.
2.    Untuk  masuk ke halaman kedua , kita melewati gapura Paduraksa yang terbuat dari Bata. Jika Paduraksa sebagai pintu gerbang komplek biasanya beratap sirap, maka lain halnya Paduraksa ini yang kesemuannya terbuat dari Bata. Pintunya terbuat dari kayu, dan dihiasi dengan ukir-ukiran indah. Di kanan kiri gapura terdapat lubang, sehingga dinding tersebut di pakai untuk jalan. Besar kemungkinannya bahwa dinding tembok gapura ini dahulu tidak berlubang, tetapi karena pertimbangan teknis , pada saat ini tembok tersebut di jebol untuk mengatasi  arus pengunjung. Gapura ini mempunyai hiasan yang cukup menarikyang berbentuk Geomotria, motif sulur-sulur daun , dan hiasan tumpal. Pada tubuh gapura tersebut, di hiasi dengan piring-piring Cina. Hiasan seperti itu, menyerupai hiasan tubuh candi yang biasanya disebut drngan istilah medalion.
Bangunan ini terdapat beberapa bangunan fasilitas seperti kamar mandi, WC, serta bangunan masjid yang menurut keterangan di bangun pada tahun 1921. Selain bangunan fasilitas, disini juga terdapat beberapa tinggalan Purbakala seperti  Tempayan,Yoni,Pipisah, dan Peti Batu . Benda-benda Purbakala tersebut sekarang di simpan di dalam halaman kecil yang oleh penduduk setempat di sebut sebagai pendopo rantai (rante).
3.       Setelah puas menikmati keunikan yang terdapat di halaman pertama dan kedua, maka anda dapat meneruskan perjalanan ke dalam halaman utama, untuk berziarah ke makam Sunan Bonang. Gapura masuk yang menuju halaman utama berbentuk sangat indah dan kaya akan hiasan piring-piring Cina. Pada bagian belakang terdapat dinding tembok yang lazim di sebut dengan bangunan Kelir. Sesuai dengan konsep Mitologi kuno, bangunan Kelir itu berfungsi sebagai penolak bahaya. Diantara hiasan yang berupa piring Cina tersebut beberapa diantaranya terdapat tulisan dengan huruf Arab. Tulisan-tulisan itu diantarannya ada yang berbunyi Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Setelah sampai di halaman ketiga, maka nampak halaman yang penuh dengan makam-makam , sebagian besar makam itu merupakan makam baru, namun beberapa diantaranya terdapat juga makam-makam  kuno. Makam Sunan Bonang berada di dalam cungkup yang cukup besar dan nampak angker. Bangunan cungkup ini mempunyai pataka yang terbuat dari perunggu dengan hiasan motif tumpal, serta di lengkapi  hiasan semacam Padma. Bagian puncak petaka berbentuk bulat , sedangkan bagian bawahnya berbentuk persegi.  Cungkup makam berbentuk sinom dengan atap terbuat dari sirap dan dindingnya terbuat dari tembok yang di beri lubang semacam kisi-kisi. Selain mempergunakan dinding tembok , cungkup ini juga menggunakan dinding kayu , yang lazim disebut dengan nama dinding Gebyok. Jirat pola perbingkaian seperti pada candi-candi Hindu. Nisannya terbuat dari batu putih yang kondisinya masih baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar